Senin, 18 Mei 2015

Keajaiban Kata MAAF

Setelah anak saya yang berumur 19 bulan memahami kata terima kasih, maka sekarang saatnya memperkenalkan kata "maaf" . Bagi saya ini kata yang penting untuk dikenalkan pafa anak sejak usia dini, agar sang anak bisa menyadari jika melakukan hal yang menyakiti orang lain ataupun sebaliknya. 

Cara mengajarkan penggunaan kata maaf tidaklah rumit mengingat anak kecil pandai meniru dan cepat belajar. Mulailah dengan meminta maaf kepada anak jika tanpa sengaja menabraknya misalnya. Membuatnya tersedak saat memberi minum, atau tanpa sengaja merusak mainannya. Kemudian minta sang anak pun mrlakukan ketika melempar mainannya dan tanpa sengaja mengenai kita, melepeh makanannya yang membuat kita harus memungutnya. Untuk anak saya...karena pernah melempar mainannya le tembok dan tanpa sengaja megenai saya maka saya katakan "erssa, mainannya kena mommy..erssa harus minta maaf karena nyakitin mommy" kemudian saya ajarkan salaman. Begitu pula sebaliknya ketika tanpa sengaja saya menginjak mainannya, spontan menatap matanya agar ada kontak mata , mentalami tangannya dan bilang kalau mami minta maaf. Kebiasaan ini baru berlangsung sekitar dua hari. 

Puncaknya ketika kemarin erssa menumpahkan isi botol vco hingga tandas dalam sekejap saat saya berbalik sebentar mengambil popok sekali pakai. Botol dalam keadaan tertutup tetapi dengan sigap ternyata dia bisa membukanya. Spontan saat itu kata yang keluar adalah " duh...erssaaa...." walaupun tidak dengan nada tinggi tapi tetap membuatnya kaget karena suara saya memeca keheningan. Sontak dia mewek, walau belum nangis,saya menggendong dan memindahkannya agar jauh dari tumpahan vco. Masih dalam keadaan mewek tiba-tiba dia menarik tangan kanan saya, menyalaminya dan berkata "maaaa......" (maaf). Langsung erssa saya peluk,dan berkata "iya mami maafkan, erssa pintar sudah minta maaf". Tiba-tiba tangisannya pecah sambil erat memeluk saya. Sayapun mengusap punggungnya,menciumnya dan berkata "mami tidak marah sayang..karena erssa sudah minta maaf"lalu tangisannya pun berhenti,tetap memeluk saya dan berkata "ca...ayang...mami..." (erssa sayang mami) saya tetap memeluknya,dan berkata "erssa duduk dulu yah sayang biar mami pel dan bersihin tumpahannya supaya erssa tidak jatuh,erssa mau bantu mami?" lalu ia oun menjawab "mau.."

Dari pengalaman tersebut saya percaya saat dia mewek, dia menunggu respon saya, ketika saya bersifat datar dan biasa (tidak memarahinya) maka dengan kesadaran dia meminta maaf karena dia merasakan ada sesuatu yang salah. Kemudian dia menangis sebagai wujud meluapkan emosi yang tertahan,merasakan kelegaaan (menangisnya tidak lama) kemudian dia memeluk erat karena dia tahu bahwa maminya sayang sama dia jika dia meminta maaf kalau salah (dia mengatakan menyayangi mami)

Kelegaan yang dirasakan sang anak juga begitu dinikmati oleh saya sebagai maminya. Tidak ada marah, kesal, kecewa atau apapun...semua rasa yang campur aduk benar-benar terhapus dengan satu kata "maaf"

Sabtu, 16 Mei 2015

Pantaskah Membandingkan Sistem Pendidikan di Indonesia dengan di Jepang?

Rasanya gimana gitu ketika ada teman kuliah dulu mem-posting gambaran sistem pendidikan di Jepang. Postingannya memancing puluhan komen yang kebanyakan isinya terkagum-kagum dan bahkan mencemooh sistem pendidikan di negri sendiri.

Menurut saya, mari kita lihat bagaimana kedua negara ini tidak bisa dibandingkan dalam urusan pendidikan. Jika Jepang pernah dijajah 350 tahun maka bisa dibandingkan, jika pendapatan orang Indonesia sama dengan orang di Jepang maka bisa dibandingkan. Jika Jepang adalah negara penganut sistem presidensil seperti di Indonesia maka bisa dibandingkan. Jika Jepang terdiri atas berbagai suku, ras,dan agama maka bisa dibandingkan. Jika Jepang memiliki luas negara yang sama dengan Indonesia, maka bandingkanlah, jika demografi Jepang serupa dengan Indonesia maka bisa dibandingkan. Masih banyak lagi.....

Faktanya,Jepang memiliki sedikit persoalan dibanding Indonesia karena memiliki penduduk lebih sedikit dengan budaya, ras,suku , agama yang homogen dan lainya yang sudah tersirat di atas.

Jika tidak berkenan dengan sistem pendidikan di Indonesia...home schooling kan anak anda atau jika masih ingin bersekolah di sekolah umum maka bangunlah pendidikan yang baik di rumah anda,bukankah waktu anak di rumah jauh lebih banyak daripada di sekolah? manfaatkanlah itu untuk mendidiknya. Bukan menjadi miris bahkan mencemooh dan tidak melakukan apa-apa. Akhirnya.....bandingkanlah apel dengan apel bukan apel dan durian.

Memperkenalkan Kata "Jangan dan Tidak" pada anak

Beberapa artikel psikolog menyarankan agar penggunaan kata Jangan dan Tidak sebaiknya dihindari oleh orang tua. Alasannya kedua kata tersebut dapat mematikan kreativitas anak. Selain itu secara sugesti, jika kata bermakna negatif seperti jangan dan tidak digunakan justru sang anak terpicu untuk melakukannya. Seperti halnya ketika kita berkata "jangan ingat gajah " maka yang ada di dalam benak kita justru "gajah". Tapi apakah kerja otak yang seperti itu juga berlaku pada anak batita? Bukankah fungsi kognitif otak pada anak belum terbentuk sempurna?. Sering kita jumpai anak menanyakan hal yang sama berulang-ulang,ataupun tak bosan menonton film kartun kesukaannya berulang-ulang, atau menjelang tidur dibacakan dongeng yang sama dan tak bosan, semua itu pertanda belum sempurnanya fungsi kognitif pada anak.

Sekarang mari pikirkan, apakah anak-anak dapat memahami konsep kata jangan dan tidak? jawabannya belum. Jadi terlalu rumit saat kita orang dewasa menganalogikan bagaimana konsep jangan dan tidak bekerja pada otak mereka. Kapan kata jangan dan tidak diperkenalkan? jawaban saya, sedini mungkin,kenapa?

Anak adalah mahluk sosial yang akan beragul dengan teman sebaya mereka juga, untuk itu perlu menyerap dan mengetahui pelbagai kosa kata termasuk kata jangan dan tidak. Kedua kata tersebut akan sering mereka jumpai ketika bergaul dengan teman sebayanya, apalagi mereka yang sudah masuk PAUD. Bisa dibayangkan ketika mereka belum mengenal kedua kata tersebut kan?

Bukalah kitab suci bahkan diberbagai agama, bukankah tertulis juga kata "jangan" dan "tidak" apakah kitab tersebut tidak berlaku untuk anak-anak? ;) marilah kita memperkenalkan kata "jangan" dan "tidak" dan wajib lengkapi dengan alasannya mengapa, agar mereka memahami konsep sebab x akibat,halal x haram, boleh x tidak boleh, salah x benar, baik x buruk

Home Schooling vs Sekolah Umum

Melihat perkembangan sekolah umum saat ini kadang nyeri di dada. Betapa tidak? pelbagai kasus mulai dari pelecehan seksual,bullying (penindasan) yang terjadi di antara para siswa mulai dari sekolah dasar hingga menengah atas sukses bikin merindint. Ga kebayang kalau salah satu korban adalah orang yang dekat sama kita. Tidak heran lumayan banyak orang tua memilih pola belajar home schooling. Tentu saja dengan berbagai alasan baik ilmiah ataupun emosional. Home schooling bisa dijadikan alternatif mengingat kurikulum dan metode mengajar di sekolah umum masih belum baku dan tergantung pada siapa menterinya ;) ganti menteri biasanya ganti kurikulum yang otomatis mempengaruhi metode pengajaran.

Melihat anak beberapa tema yang home schooling, mereka memiliki kemamouan analisa yang cukup tajam, kritis dan terbiasa berdiskusi. Berbincang dengan mereka benar-benar butuh amunisi pengetahuan yang cukup. Mungkin karena mereka belajar sesuatu tanpa beban, jadi apa yang dibaca, didengar, dan diskusikan dengan orang tua ataupun tutor,terekam dengan baik.a Kesimpulannya obrolan kami terkesan "berat".

Lain halnya ketika berbincang dengan anak-anak yang sekolah di sekolah umum, pembicaraannya ringan, ketika menyentuh onrolan yang sedikit berat, spontan mereka nyeletuk "duh...kok berasa di sekolah ya?"mungkin dengan sistem pendidikan kita di Indonesia yang membuat mereka jadi "bisa" membedakan obrolan "sekolah" dan "non sekolah".

Anak saya masih batita, membaca saja belum tapi jika boleh berandai-andai, dan disuruh memilih home schooling atau sekolah umum maka saya akan menjawab Sekolah Umum. Meski ada sejuta alasan baik tentang home schooling. Alasan saya sederhana, di sekolah umum, kelak anak saya akan menjumpai dunia yang sebenarnya. Dunia yang bukan saya sebagai orang tua ciptakan demi dia, tapi dunia yang kita huni bersama jutaan milyar penduduknya. Saya ingin anak saya melihat kecurangan supaya memahami keadilan, melihat kesalahan supaya memperjuangkan kebenaran, melihat perbedaan status sosial supaya menyadari ada kesemuan di sana. Mengenal ada orang jahat, baik,jujur, culas, beriman, dll. Karena itulah dunia yang sebenarnya. Dan ketika ia jenuh dengan apa yang dilihatnya,dia kembali ke rumah dimana dia menemukan kenyamanan. Yah....di rumah, dari rumahlah dia akan dibekali, dilindungi, disayangi dan dikasihi. Dan bekal itu saja cukup karena Tuhan beserta kami.

Jumat, 08 Mei 2015

A child lives completely in the present moment

Judul di atas diambil dari salah satu artikel yang sempat membuat saya tertegun, berpikir dan menimbang-nimbang,  ya..artikel tentang Membiarkan anak menyela obrolan orang tua, dilematis sekali memang situasinya bukan? yang dapat disimpulkan dari artikel tersebut adalah biarkan anak menyela pembicaraan orang dewasa karena hanya membutuhkan kurang dari semenit untuk menanggapinya,tetapi berarti banyak bagi sang anak. Anak akan memahami untuk tidak meyela dengan mengamati lingkungan sekitar, dan akan tiba masanya untuk itu. Mengapa itu penting? karena anak tidak mengenal istilah kemarin, ataupun besok, yang mereka tahu sekarang, saat ini juga,jadi apabila ada yg ingin mereka ungkapkan saat ini itulah yang mereka sampaikan jika ditunda maka mereka bisa saja melupakannya ataupun jika ingat, antusiasme nya akan berkurang. Sementara orang dewasa mampu menghentikan pembicaraannya sejenak. Jika obrolan ringan semata maka sempatkanlah untuk mendengarkam selaan anak, apa yang ingin ia sampaikan. Jika pembicaraan penting maka katakanlah untuk menunggu sebentar.

Bagi anak memang semua kejadian terasa penting, seperti yang terjadi pada anak saya. Ia pernah  menghampiri saya hanya untuk mengatakan melihat cicak. Padahal saat itu saya sedang berbicara pada teman saya yang kebetulan berkunjung ke rumah. Bagi orang dewasa itu hanyalah sepele, tetapi  lihatlah bagaimana antusiasnya sang anak dengan mata berbinar-binar mengatakan melihat cicak, baginya itu penemuan besar. Sayapun menjawabnya dengan bertanya dimana,maka sang anak dengan senang hati menuntun dan menujukkan tempatnya. Ternyata cicaknya sudah tidak ada,dengan wajah kecewa anak saya dengan kedua tangan menengadah dan berkata "ilang..." sayapun berkata " main lagi yah sayang, kalau cicaknya muncul lagi, panggil mami,mami lanjut ngobrol sama tante yah" anak sayapun mengangguk dan jebali bermain, sesekali melihat ke langit-langit kalau-kalau cicaknya muncul lagi. Sayapun kembali mengobrol dan berkata pada teman saya "maaf saya semoat tinggalkan sebentar, dan pembicaraan pun berlanjut.

Itu gambaran kecil yang bisa dilakukan, tapi lihatlah,banyak hal yang bisa dipelajari sang anak:

1. Anak belajar mengutarakan pendapat
2. Anak akan belajar tentang spatial atau ruangan, bisa menunjukkan tempat.
3. Anak mengenal habitat binatang
4. Anak belajar bersabar (menunggu cicak muncul lagi)
5. Anak belajar bertanggung jawab (jika melihat cicak lagi akan memberitahu ibunya)
6. Anak belajar melakukan hal multi-tasking,sambil bermain,memperhatikan jikalau ada cicak

Bayangkan saja jika saat dia menyela saya  berkata "sabar yah, mami masih bicara,adik main dulu yah" ketika saya sudah selesai berbicara dan menanyakan kembali,bisa jadi sang anak sudah lupa apa yang ingin disampaikan.


Lantas kapan anak belajar untuk tidak menyela dan mau menunggu hingga orang tuanya selesai berbicara? jawabannya adalah biasakan anak melihat kedua orang tuanya berbicara bergantian, saling menunggu, libatlan anak dalam pembicaraan dengan nenek, kakek atau anggota keluarga lainnya, agar lambat laun ia memperhatikan situasinya. Dari situlah mereka belajar. akan jauh lebih cepat bagi mereka menyerap informasi dengan menyimak daripada diberi tahu.

Kamis, 07 Mei 2015

Share the moment...share the knowledge

Let's share it.....mulailah dari apa yang kita ketahui, alami agar menjadi tambahan ilmu buat orang-orang di sekitar kita. Blog ini semata-mata memuat opini saya tentang bagaimana saya membesarkan anak saya.